Wednesday, 23 October 2013

Resensi Novel Obsesi


Resensi Buku

Judul  : Obsesi
Penulis  : Lexie Xu
Penerbit   : PT. Gramedia Pustaka Utama                 
Kota terbit : Jakarta
Cetakan ke    : 1
Tahun terbit   : 2010
Tebal buku    : 240 halaman

            Obsesi bercerita tentang dua orang sahabat, yakni Jenny—cewek cupu yang tinggal di sebuah rumah menyeramkan dan memiliki dua teman sekelas yang bernama sama dengannya—dan  Hanny—cewek cantik dan populer yang suka gonta-ganti pacar. Suatu ketika, kedua sahabat itu diajak jalan oleh Tony dan Markus, dua orang cowok yang terkenal ganteng di sekolah mereka. Tony lantas mengajak Hanny pacaran, tapi kemudian ia mencampakkannya beberapa hari kemudian. Berdasarkan informasi dari Johan, salah satu sahabat Hanny yang berkacamata tebal, Tony melakukan itu untuk memenangi taruhan, dan ia berkomplot dengan Jenny. Hanny yang tengah berada dalam kondisi depresi pun percaya dan memutuskan untuk mengakhiri persahabatannya dengan Jenny. Bukan cuma itu, ia bahkan mengutuk Jenny untuk sial selamanya.
Beberapa hari berselang, sebuah kecelakaan menimpa Jenny lain, yakni Jenny Bajaj, yang diikuti dengan kecelakaan lain yang melibatkan Jenny yang satu lagi, Jenny Tompel. Kedua orang Jenny itu lantas menyalahkan kutukan yang dikeluarkan oleh Hanny sehingga mereka juga turut terkena getahnya.  Jenny pun turut merasa was-was dan khawatir, tapi untunglah Tony, yang kini sudah berpacaran dengannya, dan Markus selalu memastikan dirinya tidak akan ditimpa oleh sesuatu yang buruk. Ketegangan semakin bertambah setelah munculnya  beberapa kejadian aneh yang terjadi di rumah Jenny, yang membuat mereka bertiga menyelidikinya.
Sementara itu, setelah berpisah dari Jenny, Hanny semakin dekat dengan Johan. Ia bahkan sempat berkunjung ke rumah Johan yang menurutnya agak aneh. Namun, lama-kelamaan ia merasa kehilangan Jenny dan lalu berniat untuk kembali berdamai  dengan Jenny. Namun, atas alasan yang tidak ia ketahui, Johan selalu tampak tidak setuju. Pada akhirnya Hanny tetap berbaikan dengan Jenny, dan dari situ, mereka jadi tahu kalau kejadian yang mereka alami selama ini tak lain hanya ulah Johan karena sebuah obsesinya.
Kelebihan novel ini yaitu cerita sangat membawa. Siapapun yang membaca pasti ikut dalam suasananya yang sangat tegang, lucu, ataupun romantis. Bahasanya juga enak dan mudah dipahami. Novel Obsesi menyuguhkan penggunaan  sudut pandang mejemuk yang mengagumkan. Baik pemikiran atau perbuatan yang dilakukan oleh Jenny dan Hanny  maupun kejadian yang mereka alami saling berdiri satu sama lain sehingga terlihat betul perbedaan karakteristik mereka. Rasanya seperti ada dua orang yang bercerita sendiri-sendiri berdasar versi masing-masing, tapi pada akhirnya menyambung dan lalu membentuk satu alur utuh. Penempatan babnya juga oke, sehingga cerita bisa diawali oleh Jenny dan diakhiri oleh Hanny. Sangat baik !
Kekurangan dari cerita ini adalah suasana romantis yang dibuat dalam novel ini kurang bagus dan kurang seimbang dengan suasana mencekamnya. Adegan ciuman dan cuci tangan bareng Jenny-Tony sepertinya sedikit memaksa.
Novel ini baik untuk dibaca oleh para remaja. Menurut saya, mungkin dengan membaca novel ini para remaja bisa belajar berpetualang dan belajar memecahkan sebuah masalah yang rumit jika sewaktu – waktu mengalaminya. Bahasanya juga mudah dipahami, sehingga tidak bingung dalam mengikuti tiap ceritanya. Tetapi novel ini tidak baik dibaca anak – anak, karena ada adegan – adegan yang belum pantas untuk seusia mereka.

Thursday, 10 October 2013

Cerpen 2 : Fantasi Tentang Jember


Misi Kejujuran
(oleh: Nanda Oktavia)
Suasana istirahat di SMP-ku hari ini cukup baik. Seperti biasa, murid-murid melakukan kegiatan mereka masing-masing, namun yang membuatku resah masih saja ada beberapa siswa yang berpacaran di pojok-pojok sekolah. Aku bingung dengan mereka. Apa mereka tidak takut bakal dipergoki oleh tukang kebun atau penjaga sekolah? Atau bisa saja yang memergoki mereka adalah guru BK. Oh, tidak, itu adalah malapetaka untuk pasangan-pasangan muda itu.
            Menurutku daripada mereka melakukan hal itu, lebih baik makan-makan atau nongkrong di kantin seperti apa yang selalu aku lakukan setiap jam istirahat. Ya mau apalagi? Aku sangat malas untuk bergosip dengan teman-temanku di kelas dan aku juga tidak punya pacar! Jadi aku selalu melarikan diri ke kantin, pesan bakso Pak Maman yang super pedas, dan memakannya. Terkadang aku memakannya sambil termenung. Bukan karena meratapi nasib, tetapi aku hanya memandangi seorang cowok tampan yang sedang bermain basket di lapangan.
            Namanya Ricky. Dia adalah kapten tim basket sekolah kami. Dia salah satu anggota geng terpopuler di sekolah. Aku sudah mulai mengaguminya sejak kelas 1 SMP dulu hingga kelas 3 sekarang. Sayangnya, dia itu sudah punya pacar. Namanya Siska. Cewek itu juga sangat populer. Mereka sudah berpacaran sejak kelas 2. Ah, sial !
            “Woy! Baksomu itu kalo ndak dimakan mending buat aku aja wis, Ra! Daripada di ancur-ancurin gitu lho.. Mubadzir, tahu, “ tiba-tiba saja cewek eror satu ini membuyarkan lamunanku. Meminta baksoku, lagi. Dia ini adalah sahabatku sejak SD, namanya Lita. Aku bingung mengapa aku betah bersahabat dengannya? Tapi itu bukan masalah, karena aku bersyukur memiliki sahabat sepertinya, karena hanya dia yang bisa membuatku tersenyum saat aku sedih.
            “Eh, apa’an sih? Sembarangan aja mau ambil jatah bakso superku. Kalo mau, beli sana! Hush, hush..” aku mendorong-dorong punggungnya lalu langsung mencengkeram lengannya dan berkata tiba-tiba, “Lit, kamu tahu nggak?”
            “Enggak,” jawabnya asal.
            “Huh, ni anak! Tahu nggak, kemarin aku papasan loh sama Ricky di halaman belakang pas pulang sekolah. Waktu itu sih udah agak sepi. Tiba-tiba aja, dia pegang lengan aku. Terus dia minta nomor hapeku. Ya aku kasih aja. Tapi, sampe sekarang dia nggak menghubungi aku sama sekali,” curhatku.
            “Mungkin aja dia mau deketin kamu, tapi belum siap. Hehehe.. udah deh tungguin aja sms atau telponnya. Aku yakin dia pasti bakal menghubungi kamu. Sabar wae yo, nduk..” jawabnya dengan nada kayak nenek-nenek. Ah, bukan jawaban ini yang kutunggu. Bingung ah !
Aku segera menghabiskan baksoku dan pergi bersama Lita menuju ruang kesenian karena sebentar lagi pelajaran kesenian di mulai.Tapi, tiba-tiba.... BUUKKKK !! Arrgghh, kepalaku terkena bola basket. Sakitnya bukan main, tapi tiba-tiba aku seperti melihat malaikat yang datang. Apa aku sudah mati ya?
            “Mutiara, Ara, bangun, Ra ! Kamu nggak apa-apa, kan? Mutiara?” malaikat itu mengguncang-guncang tubuhku. Akhirnya aku sadar. Itu bukan malaikat, tapi RICKY! Ya, dia yang tanpa sengaja melempar bola sampai menghantam kepalaku. Ya, Tuhan. Apa aku mimpi ya?
            “Engh, aku nggak apa-apa kok. Cuman pusing aja,” kataku berpura-pura kuat.
            “Maafin aku ya, Ra. Aku nggak sengaja. Ayo aku antar kamu ke UKS,” tiba-tiba saja Ricky menggendongku dan langsung membawaku ke UKS. Aku benar-benar seperti mimpi!
Sebelum sampai UKS, aku sempat melihat Siska. Wajahnya terlihat begitu marah. Dia memandangku dengan tatapan sinis. Ya, Tuhan, aku berharap tidak terjadi apa-apa setelah ini.
“Bu, tolong obati Mutiara, ya. Tadi kepalanya terbentur bola basket karena kecerobohan saya,” pintanya dengan sopan.
“Oh, iya, Ra, aku balik dulu, ya. Mau ganti baju. Dah..”dia memberikan senyuman padaku. Oh, membuat jantungku meleleh saja.
***
            Pagi yang cerah di hari minggu. Daripada bermalas-malasan di rumah, aku langsung bersiap untuk jogging bersama Lita. Sekalian berlatih untuk ujian praktek olahraga.
Tak terasa, ujian sudah dekat. Aku harus belajar ekstra. Aku tidak mau curang dalam ujian. Aku harus bisa untuk berusaha jujur dalam mengerjakan Ujian Nasional. Jangan sampai aku terpengaruh teman-temanku yang hobinya berdiskusi saat ujian.
“Ehm,ehm.. Ngelamun lagi anak ini. Ngelamunin sopo, to? Ricky,ya? Ihh, mentang-mentang kemarin abis digendong, hahaha!”tebak Lita tak karuan.
“Heh, kalo ngomong jangan ceplas-ceplos dong! Kamu tu bisanya cuman ngarang doang. Aku tuh cuman mikir, gimana ya, supaya bisa jujur di UN ? UN, kan udah deket. Sulit banget lo kalo mau jujur. Temen-temen kita itu sama sekali nggak mau mikirin UN. Soalnya, mereka udah punya cara-cara curang buat ngerjain ujian. Huh, bingung deh. Ntar, kalo misalnya kita nggak mau kasih tau jawaban, pasti kita bakal diancam dan dimusuhi. Dibilang sombong lah, kebanyakan gaya lah, sok pinter lah. Huuuh, bingung, bingung, bingung,” curhatku panjang lebar.
Begitulah teman-temanku. Mereka jarang sekali berlaku jujur saat ujian. Mungkin hanya segelintir anak yang tetap memperjuangkan kejujuran. Tetapi, mereka itu anak-anak yang sudah dikucilkan. Anak-anak kuper yang setiap ujian selalu mengalami siksaan berat. Kalau aku, kadang-kadang masih bertanya jika tidak tahu dan memberikan jawaban pada teman-teman yang sudah sakau. Bukan sakau karena narkoba, tetapi karena sudah ketakutan kalau tidak bisa mengerjakan ujian sama sekali.
Sekarang aku bingung. Benar-benar bingung dengan sifat Ricky yang tiba-tiba berubah kepadaku. Apa maksudnya? Apa ada maksut jahat yang sudah direncanakan dengan Siska? Sampai sekarang pun, dia masih belum juga menghubungiku. KRIIIIIINGG! Tiba-tiba saja ponselku berteriak-teriak. Ah, mengagetkanku saja. Aku langsung membuka SMS yang baru saja aku terima. Kalian tahu siapa pengirimnya?
“RICKY !!” jerit Lita histeris. Huh, orang ini hampir membuat gendang telingaku pecah.
“Woy, nggak usah lebay deh,” kataku dengan menepuk punggungnya.
Aku segera membaca isi SMS-nya.
Hai, Mutiara. Ini aku, Ricky. Kamu mungkin bingung, ya, kenapa aku mulai deketin kamu. Bukan apa-apa kok. Aku cuma butuh bantuan kamu aja. Nggak apa-apa, kan? Aku bener-bener perlu kamu, Ra.
Oke, kamu boleh pikir-pikir dulu. Kalau kamu mau bantu aku, dateng aja ke rumahku! Ini alamatnya : Jl. Dr. Soebandi no. 100, Jember. Please, Ra, bantu aku.....
“Hah? Dia butuh bantuanku? Mau apa, ya? Oke deh, Lit aku ke rumah Ricky dulu,ya, “ teriakku sambil berlari.
“Oke! Semoga sukses ya PDKT-nya,” oceh Lita sambil cengar-cengir. Anak itu memang ada-ada saja.
Aku segera mandi dan bersiap-siap. Setelah sarapan, aku langsung tancap gas dengan motor Scoopy kesayanganku. Aku benar-benar penasaran dengan keinginan Ricky. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa.
***
            “Oke, Ra. Makasi banget kamu udah mau dateng. Sekarang aku mau nunjukin sesuatu ke kamu. Sebentar, ya,“ dia segera meninggalkanku dan menuju ke lemari pakaiannya dan segera kembali membawa sesuatu yang di balut dengan kain hitam.
            “Ini, Ra. Buka aja,” dia memberikannya padaku. Wajahnya terlihat bingung. Dia membuatku bertambah takut untuk membukanya.
            Saat aku membuka kain hitam itu, aku sangat terkejut ! Benda itu seperti cincin besar yang mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mataku. Itu sebuah portal !
            “Dari mana kamu dapetin ini ?” tanyaku heran.
            “Waktu itu aku habis main basket. Terus aku duduk-duduk sendiri di taman sekolah. Nah, saat aku mau kembali ke kelas, aku melihat benda ini berada di dekat semak-semak. Aku benar-benar penasaran. Langsung saja aku buka kainnya. Saat aku tau kalau itu sebuah portal, aku benar-benar bingung ! Apa yang harus aku lakuin sama benda ini. Ya, sudah, aku tinggalkan saja di situ. Tapi anehnya, waktu aku udah sampai rumah dan mau ganti baju, aku nemuin benda itu udah ada di lemari bajuku. Aku bingung mau minta bantuan siapa. Siska dan semua teman-temanku nggak ada yang percaya ! Mereka bilang aku cuma mimpi. Makanya aku minta tolong sama kamu,” ceritanya panjang lebar dengan muka sok melas.
            “Oh, jadi gitu. Oke, kalo gitu kamu jangan cerita sama siapapun tentang ini. Ini cuma rahasia kita. Nah, sekarang mau ngapain?” tanyaku dengan nada seperti anak kecil.
            “Nggak tau,” gumamnya seperti orang yang sudah pasrah kalau sebentar lagi akan dijatuhi hukuman mati. Ternyata cowok se-keren ini gampang putus asa juga.
            “Berani nggak kalau masuk dalam portal ini ? Sapa tau bisa nemuin sesuatu. Gimana? tanyaku memberanikan diri.
            “Kamu yakin, nggak bakalan terjadi apa-apa ? Kita cuma berdua loh,” jawabnya panik.
            “Yakin! Ayolah, jadi cowok gak boleh penakut. Aku yakin kita bakal nemuin sesuatu di dalamnya. Pasti seru,” jawabku sambil mengkhayal.
            Akhirnya Ricky setuju dengan usulku. Menurutku, hal seperti ini tidak boleh di sia-siakan. Kita harus mencoba hal-hal baru. Tidak ada kata tidak bisa sebelum mencoba, itu prinsipku.
            Kami segera menyiapkan segala keperluan yang kami butuhkan. Tanpa pikir panjang lagi, aku dan Ricky langsung melompat ke dalam portal itu.
***
            Benar-benar dunia yang berbeda. Spektakuler! Semuanya serba canggih. Kendaraannya sudah tidak menggunakan roda lagi, tetapi dengan sayap. Lalu lintasnya benar-benar teratur dan manusianya...... Tidak ada orang jelek. Wajah orang-orang di sini sudah seperti menggunakan standar ketampanan dan kecantikan di atas rata-rata. Kami berdua serasa menjadi orang paling jelek di sana.
            Sudah tidak ada lagi warga-warga miskin di bawah jembatan. Tidak ada secuil pun daerah kumuh. Barang-barang yang ada di sini juga serba canggih dan mewah. Rumah-rumah pribadi bukanlah rumah-rumah sederhana lagi, tetapi bentuknya aneh-aneh dan besar-besar. Mengagumkan sekali !
            Kami berdua menyusuri jalan dan tak tau mau ke mana. Lalu kami mencoba bertanya pada ibu-ibu yang sedang menunggu di halte bus,
            “Permisi, bu. Ini kota mana, ya?” tanya Ricky dengan polosnya
            “Ini Jember City, Dik. Adik-adik ini dari mana, ya? Kok kumuh banget?” tanya ibu itu heran.
            “Oh, tadi kami masuk sini dari sebuah portal. Kami juga berasal dari Jember, kok. Tapi bukan seperti ini. Apa ini masa depan?” tanya Ricky penasaran.
            “Oh,begitu. Ya, saya mengerti. Kalian bersihkan diri kalian dulu di salon itu. Cepat sana. Penampilan kalian harus sama dengan kami,” pintanya.
            “Kami tidak punya uang,” jawabku memelas.
            “Gratis, kok,” jawabnya dengan ramah.
            “Hah? Jaman begini ada gratisan?” bisik Ricky pada Ara.
            Akhirnya kami bergegas menuju salon yang di tunjukkan oleh ibu-ibu tadi. Para pelayan segera mem-make over kami berdua. Kami benar terkejut saat melihat penampilan baru kami yang benar-benar keren. Kami pun keluar dari salon dan pergi menuju restaurant untuk mengisi perut kami.
            Saat kami hendak keluar dari restaurant, dua orang anak seumuran kami dengan penampilan kumuh menarik tangan kami dan membawa kami ke sebuah rumah kecil yang tersembunyi.
            “Maaf kami lancang, kami cuma mau bantu kalian,” gumam seorang anak yang bernama Dini.
            “Bantu apa?” tanyaku bingung.
            “Ini adalah masa depan. Ini adalah Jember City di tahun 2100. Kami tahu kalian berasal dari masa lalu dan masuk ke sini menggunakan portal. Betul, kan? Kalau tidak salah kalian berasal dari tahun 2011. Makanya jauh banget perbedaannya. Sebenarnya kami juga sama seperti kalian, tetapi kami berasal dari tahun 2009. Kami terjebak di sini dan tidak bisa kembali, karena kami tidak mau berbohong. Asal kalian tahu saja, orang-orang di sini adalah pembohong semua ! Semua serba gratis karena dulunya ada seseorang yang melakukan misi kebohongan pada sebuah negara. Akhirnya dia berhasil membohongi orang-orang di sana dan menguras semua harta dan teknologi nagara itu,” cerita Dini panjang lebar.
            “Anak-anak di sekolah pun selalu mendapatkan nilai tinggi. Nilai kelulusan minimal aja 9,5. Tinggi sekali, kan? Itu karena mereka tidak pernah jujur dalam mendapatkan apapun. Setiap akan ada ujian mereka pasti mencuri kunci jawaban dulu. Di zaman ini, tidak ada yang namanya belajar, dan berdoa. Semua itu sudah basi bagi mereka. Mereka hanya curang, curang, curang, dan curang dalam hal apapun untuk mencapai keinginan mereka. Jika ada yang berani jujur, mereka akan di buang dan di kucilkan. Seperti kami ini,” jelas Andi, teman Dini.
            “Lalu kami harus apa? Teman-teman kami saja sudah banyak yang tidak jujur. Apa nggak ada cara untuk mengembalikan kejujuran, gitu?” tanya Ricky antusias.
            “Ada! Kita butuh ramuan kejujuran untuk mengembalikan semuanya. Kalau ramuan itu bisa kita dapatkan, kalian juga bisa membawanya ke masa kalian. Mungkin berguna,” usul Andi.
            “Kita bisa mendapatkan ramuan itu di rumah Professor Ajong. Dia adalah ilmuwan di Jember City. Dia punya ramuan kejujuran dan juga kebohongan. Tetapi, ada beberapa rintangan yang harus kita hadapi saat memasuki rumahnya. Tantangan yang utama adalah kita harus selalu berbohong. Jika sekali saja kita mengatakan kejujuran, kita harus kembali ke langkah awal lagi,” jelas Dini.
            Aku dan Ricky saling berpandangan. Kami benar-benar bingung. Seorang murid saja sudah pandai berbohong, apalagi professor? Sudah pentium berapa tingkat kebohongannya? Rasanya aku ingin pulang saja. Sayangnya, kami tidak akan pernah bisa pulang jika belum mendapat ramuannya. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi berempat.
***
            “Ini dia pintu gerbang rumah Professor Ajong. Tantangan pertama, kita harus bisa menjawab pertanyaan dari professor. Mutiara, coba kamu tekan tombol itu,” suruh Andi sambil menunjuk tombol yang berada di dinding pagar.
            “Halo, aku adalah Professor Ajong. Kalau mau masuk rumahku, pecahkan dulu teka-tekiku. Satu ditambah satu sama dengan berapa? “ tanyanya dengan nada mengejek.
            “Ya Tuhan ! Pertanyaan itu mudah sekali,” batinku. Aku baru ingat kalau kami harus selalu berbohong. Berarti kami harus pura-pura tidak tahu, benar, kan? Saat Ricky hendak menjawab, aku segera menutup mulutnya dan cepat-cepat menjawab pada professor,
            “Aduh, professor  pertanyaan apa itu? Susah sekali. Kami tidak bisa menjawabnya. Sekolah kami tidak pernah mengajarinya. Sedih sekali kami ini,” jawabku pura-pura bodoh.
            “Good Job! Kamu memang anak pintar. Silahkan masuk,” ia mempersilahkan kami beempat dengan ramah.
            Kami segera berjalan menuju tantangan berikutnya. Di dekat sebuah taman, kami melihat empat lembar kertas ujian yang berserakan di atas rumput. Andi segera memunguti kertas-kertas itu. Ternyata itu adalah soal-soal Ujian Nasional. Soalnya benar-benar mudah. Kami yakin bisa menjawab semuanya. Tetapi itu sama saja akan membuat kami kembali ke tantangan awal. Jadi, kami harus mencuri kunci jawabannya. Tak disangka! Kunci jawaban itu tersebar di kandang Bull Dog dan di dalam kolam renang. Cukup sulit !
            “ Baiklah, anak laki-laki ke bagian kandang Bull Dog, anak perempuan ambil di kolam renang,” tegas Dini.
            “Siap komandan, “ jawabku, Andi, dan Ricky bersamaan.
            Sebenarnya aku tidak bisa berenang dan Ricky sangat takut dengan anjing, namun saat aku berenang, aku merasa seperti bisa bernafas dalam air. Keren sekali ! Ricky pun juga terlihat berani sekali melewati Bull Dog yang kelihatannya hendak mencakar kulit mulusnya habis-habisan. Anehnya, saat mereka berdua hendak mengambil kunci jawaban di bawah kuku anjing itu, mereka sangat mudah mengambilnya. Malah sama sekali tidak disentuh oleh si Bull Dog.
            Akhirnya semua kunci jawaban telah terkumpul. Kunci jawaban yang telah kuambil di dalam kolam tadi sama sekali tidak basah. Benar-benar aneh.
            “Yey, semua jawaban udah terisi nih. Terus mau diapain ?” tanyaku.
            “Masukkan ke dalam kotak surat yang ada di sebelah kandang. Otomatis pintu kedua akan terbuka,” terang Andi.
            Kami berempat langsung memasukkan kertas-kertas ujian itu ke dalam kotak surat. Ternyata benar ! Pintu kedua langsung terbuka. Kami bergegas memasuki ruang sempit yang ada di dalamnya. Baunya harum sekali. Sayangnya, di sini terlalu gelap, sehingga kami sulit untuk menemukan sesuatu. Oh, iya, aku baru ingat kalau ada senter di ranselku. Aku segera menyalakan senter itu dan mencari teka-teki lain.
            Kami menemukan yang ketiga di sudut ruangan. Seorang anak kecil yang sedang menangis karena tidak bisa mengerjakan tugas sekolahnya. Kali ini, kami harus mengerjakan semua tugas anak kecil itu dan menyuruhnya untuk mengatakan pada gurunya bahwa itu usahanya sendiri. Sebetulnya aku agak bingung dengan tantangan yang ini, tetapi setelah kami membantu anak itu, ia membukakan pintu ketiga untuk kami.
            Ternyata tantangan terakhir berada di pintu ketiga. Kami harus memalsukan nilai pada ijazah yang kami temukan agar bisa diterima di SMA terfavorit di sana. Rata-rata minimalnya 9,2. Sedangkan rata-rata yang ada di ijazah tersebut 8,4. Banyak sekali nilai yang harus kami palsukan? Aku benar-benar tidak kuat lagi.
            “Hiks...hiks.. Rick, aku nggak sanggup bohong terus. Tantangan terakhir ini sama aja kayak aku mau daftar di SMA favorit, tapi aku harus nipu ! Aku nggak mau ngelakuin itu. Aku mau pulang Rick. Dari awal aku udah ngelatih diri aku supaya nggak curang. Tapi sekarang ? Aku dituntut bohong terus. Coba kamu baca lagi ijazah itu. Lihat atas nama siapa ! Namaku, Rick. Jadi rasanya sama aja kayak beneran. Aku nggak sanggup, Rick,” tangisku histeris.
            Ricky menggenggam tanganku erat seraya berkata, “Ra, aku juga ngerasa nggak enak bohong terus. Tapi ini udah tantangan terakhir. Kamu harus berani. Ini cuma bohongan, kok, nggak nyata. Kamu harus berani, Ara... Demi ramuan kejujuran, oke?”
            Ricky langsung memelukku. Benar-benar hangat dan tenang. Akupun sudah mulai tenang dan mencoba untuk berani. Kuhapus air mataku dan segera mengganti nilai-nilai di ijazah itu dengan cepat. Lalu aku memberikannya pada petugas PSB SMA yang ada di situ. Aneh-aneh sekali. Mengapa tiba-tiba ada petugas PSB SMA ? Kalau ada tempat yang empuk, rasanya aku ingin pingsan sekarang juga.
            Akhirnya pintu rumah professor terbuka. Rumahnya sangat mewah. Tiba-tiba saja Andi dan Dini yang sedari tadi hanya diam langsung berdiri di hadapan kami berdua. Mereka seperti mencari-cari sesuatu di ubun-ubun mereka dan langsung menariknya seperti resleting hingga ujung kaki mereka. Dari tubuh Andi, keluarlah seorang Pria yang sudah berumur 40 tahun dan dari tubuh Dini keluarlah wanita paruh baya yang berumur sekitar 38 tahun.
            “Kerja bagus, anak-anak. Kalian benar-benar hebat. Kalian rela mengikuti semua aturan main dalam teka-tekiku demi mendapatkan ramuan kejujuran. Perkenalkan, aku Professor Ajong dan ini istriku, Ibu Sinshi. Kami yang menyamar menjadi Andi dan Dini. Terimalah ramuan kejujuran ini. Tiupkan sebanyak tiga kali di udara, maka ramuan ini akan menyebar dan akan merubah semua orang yang berniat untuk berbohong demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Cepat pergilah !” jelas professor panjang lebar.
            Kami segera melakukan apa yang beliau suruh. Setelah kami tiup, benih-benih ramuan itu mulai bergerak. Tanpa pikir panjang, kami segera berlari pergi dan mencari portal itu. Ternyata belum lama kami berlari, kami sudah menemukan portal itu. Kami langsung melompat kembali ke dalam portal itu.
***
            “Hoahhmm, capek banget sih. Wah udah jam lima sore. Aku di mana, ya?” gumamku sambil melihat sekeliling.
            “Eh, Ara udah bangun. Nih, minum dulu. Tadi pas keluar dari portal kamu langsung pingsan. Masih pusing?” tanyanya agak khawatir.
            “Oh, ya? Nggak sadar aku. Nggak kok, aku nggak pusing,” jawabku menenangkan.
            “Eh, ramuannya berhasil loh. Tadi di portalnya ada tulisan ‘GOOD JOBS, GUYS’. Terus, ramuan ini mau diapain?” tanyanya.
            “Tiupin di sekolah juga, dong. Sekolah kita harus jujur! Oke nggak tuh?” tukasku dengan antusias.
            “Oke deh.”
            Keesokannya saat upacara berlangsung, aku mengeluarkan ramuan itu dari sakuku dan meniupkannya. Tiba-tiba, seluruh warga sekolah menggetarkan tubuhnya karena merasa seperti ada sesuatu yang masuk ke tubuh mereka. Mungkin hanya itu reaksi yang aku lihat. Saat aku menoleh pada Ricky, ia tersenyum padaku dan mengacungkan dua jempol untukku.
            Ternyata, pengaruh ramuan itu terjadi saat kami memulai ujian. Seluruh siswa kelas tiga tidak ada sama sekali yang berbuat curang. Mereka benar-benar siap ujian. Aku sangat bangga, karena saat pengumuman hasil ujian, sekolahku lah yang memperoleh nilai tertinggi se-Kabupaten. Kejujuran itu memang penting. Siapapun yang selalu jujur, pasti akan menuai kesuksesan !
***
            Senin sore itu aku berjalan-jalan di taman perumahan Ricky. Dia mengundangku lagi ke rumahnya. Sepertinya dia mulai menyukaiku. Saat kami sedang duduk-duduk, tiba-tiba kami menemukan benda aneh yang tertancap di tanah. Aku menarik benda itu sekuat tenaga. Saat aku membuka penutup benda itu, Ricky langsung histeris,
            “Ra, itu ra, coba kamu lihat ! Gambar itu dan tulisan itu.’JEMBER CITY 2100’. Ngerasa aneh nggak?”
            “Hah? Apa’an nih? Portal lagi?” gumamku setelah membalik benda itu.
            “Kayaknya ada misi baru lagi nih, Ra,” goda Ricky.
            “Hah? Misi ? Nggak mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu !!!!!!!” jawabku sambil lari terbirit-birit.

Sunday, 15 September 2013

Cerpen 1 : Sebuah Penantian

Sebuah Penantian
Oleh : Nanda Oktavia

 “Pagi, Ma! Pagi, Pa! Pagi, Bang!” sapaku bersemangat. Hari ini hari pertamaku menjadi siswi kelas 11 di SMA Pelita Bangsa. Masa-masa kelas 10 telah kulewati dengan sempurna. Hasil raporku sesuai target. Oke, saatnya membuat target baru, di level baru, di kelas baru, tapi tetap sekolah lama.
            “Semangat banget, lo, Dek? Kelas baru gebetan baru, nih?” celetuk Abangku dengan santainya. Tampangnya yang menyebalkan selalu membuatku ingin melemparnya ke kutub utara dan berharap ia tidak akan pernah kembali. *ups
            “Bisa diem nggak, sih? Ngerusak mood aja. Sotoy, lo !” jawabku sinis.
            Gebetan baru. Kata-kata yang mengingatkanku pada masalah yang tidak pernah bisa kulupakan. Ah! Mengapa lagi-lagi masalah ini menggelayuti pikiranku ? Dasar Abang sialan. Mood-ku benar-benar hancur karenanya. Segera aku mengambil roti selaiku dan langsung pergi menuju mobil Honda Jazz biru yang sejak tadi telah terparkir di depan rumah bersama Pak Ujang, supirku.
            Di perjalanan, pikiranku tak tenang. Masalah itu tetap saja menghantui perasaanku. Sejak dulu, aku telah berusaha melupakan masalah itu. Namun semua itu sia-sia saja.
            “Arrrgggh!” sontak aku berteriak keras-keras di dalam mobil.
            “Masya Allah! Kesambet, Neng?” celetuk Pak Ujang saking kagetnya.
            “Sorry, Pak. Khilaf,” jawabku sambil tersenyum kecut.
***
            KRIIIINGG !!! Bel istirahat berbunyi. Baiklah, mungkin bersenang-senang bersama teman-teman bisa membuatku melupakan masalah aneh itu. Semoga.
            “Bengong aja, Mer. Mikirin gue, ya?” celetuk Adit mengagetkanku. Sahabatku ini memang PD-nya tingkat dewa. Selain itu, tepukannya di bahuku selalu terasa menyakitkan. Rasanya nyeri..
            “Rese banget, lo, Dit! Hobi lo bikin orang hampir mati ternyata masih awet, ya,” omelku pada Adit lengkap dengan gaya nenek-nenek yang hampir keserempet sepeda motor.
           “Sorry. Becanda doang, kok. Oh,iya, mau gue traktir, nggak? Gue iba sama muka lo yang nggak semangat itu. Persis nenek-nenek,” ujar Adit dengan wajahnya yang innocent.
            “Ngeledekin mulu, lo. Boleh, deh. Mie ayam plus jus jeruk. Jangan lupa nggak pake bawang goreng dan jusnya jangan terlalu kecut. Cepet pesen sana! Laper, nih,” perintahku dengan semena-mena tanpa mempedulikan wajahnya yang berubah menjadi cemberut saat mendengar ocehanku.
***
            Suasana sekolah sudah mulai sepi. Murid-murid SMA Pelita Bangsa sudah pulang sejak 2 jam yang lalu. Hanya ada beberapa PH OSIS yang berjalan-jalan disekitar kantor guru. Hujan begitu deras. Sehingga aku harus menunggu hujan reda agar bisa mencari angkot untuk pulang. Hari ini Pak Ujang tidak bisa menjemputku. Ia harus mengantarkan tamu Papa ke bandara.
            Sepi. Lagi-lagi masalah itu menghantui pikiranku. Ada apa denganku? Mengapa aku terlalu berharap ada seseorang yang bisa memecahkan masalahku? Seseorang yang akan mencintaiku dengan tulus dan menghapuskan segala kesedihan di hatiku. Tak terasa setetes air mata telah membasahi pipiku. Aku tak kuasa menahan segala emosi. Aku langsung menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya. Ada sedikit kelegaan di hatiku. Perlahan-lahan kubuka tanganku. Aku takut ada seseorang yang melihatku menangis.
            “Frustasi, Mer?” tanya Adit tiba-tiba. Kapan dia datang? Kehadiran cowok ini benar-benar membuatku merinding.
            “Makhluk halus yang satu ini bisanya cuma ngagetin orang, ya?” sindirku sembarangan.
            “Sembarangan aja, lo. Gue ini makhluk ganteng, macho, imut-imut, manis, dan punya banyak penggemar,” ocehnya dengan gaya kocak seperti biasanya. Mungkin ia berusaha menghiburku. Aku tahu itu. Adit memang tidak banyak basa-basi  jika ingin berbuat baik pada orang lain. Baginya, perbuatan lebih penting daripada omong kosong dan basa-basi.
            “Hm…,” aku menghela nafas panjang dan mulai menatap Adit dalam-dalam.
            “Dit, lo kan sahabat gue. Lo pasti paham tentang gue, kan? Gu…gue mau cerita. Tapi rahasia,” jelasku ragu-ragu.
            “Cerita aja,” jawabnya dengan santai dan langsung memalingkan pandangannya dariku.
            “Dit, gue jelek?” tukasku spontan.
            “Cantik, kok,” lagi-lagi ia menjawab dengan santai.
            “Dit, seriusan,” aku menepuk bahunya sambil bersungut-sungut.
            “Gue serius, Merry. Lo cantik. Sayangnya, lo nggak terbuka sama orang lain. Lo cuma berharap orang yang nyapa lo duluan. Gue tau masalah lo. Lo pingin punya cowok, kan? Udahlah, Mer. Hal begituan nggak usah terlalu dipikirin. Suatu saat Tuhan pasti bakal kasih cowok terbaik buat lo. Percaya, deh sama gue. Masih banyak hal yang lebih penting buat lo pikirin,” jawab Adit panjang lebar. Disaat-saat seperti ini Adit terlihat sangat bijaksana. Ia terlihat sebagai sahabat yang membanggakan.
            “Tapi rasanya aneh, Dit. Gue ngerasa nggak pernah ada orang yang merhatiin gue. Cowok jelek aja menghindar, apalagi cowok ganteng!” aku menekankan kalimat terakhirku.
            “ Lebay banget, sih. Perasaan lo aja kali. Lo cuma harus lebih banyak senyum sama orang. Pasang muka ramah. Cukup gitu doang, kok,” Adit berusaha meyakinkanku dengan menatapku dalam-dalam.
            “Hmmmm… Oke, gue coba. Oh iya, Dit. Gue harus pulang. Hujan udah reda, nih,” aku langsung bangkit dan melangkah pergi. Namun sebelum aku pergi, Adit langsung meraih tanganku.
            “Bareng gue aja,” tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menarikku menuju motor ninjanya yang super keren.
***
            Semester 1 telah berlalu. Hari-hari terasa begitu cepat. Aku harus mengawali hari-hariku di semester 2 dengan lebih baik lagi. Oh iya, sebulan lagi ulang tahunku yang ke-17. Wow! Sweet Seventeen ! Kira-kira seperti apa, ya, ulang tahunku kali ini? Entahlah. Itu urusan nanti. Semoga saja ada kejutan.
            “Woi!” tiba-tiba saja Adit datang dan langsung duduk di sebelahku.
            “Gimana? Udah ada yang mulai deket sama lo?” tanya Adit memulai pembicaraan.
            “Belum, sih. Mereka cuma nyapa doang, and nothing happen,” gumamku dengan nada melemas.
            “Udahlah, ‘kan ada gue. Hehehe...,” Adit nyengar-nyengir tak karuan. Sorot matanya benar-benar jahil.
            “Lo pantesnya jadi jongos gue kali, ya,” tukasku sembarangan.
            Tiba-tiba saja Adit langsung berlari pergi meninggalkanku. Ia tidak berkata apapun padaku. Sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya lagi.
***
            Sudah hampir sebulan aku tidak bertemu dengan Adit. Padahal kelas kami jaraknya cukup dekat. Di tempat parkir pun aku tidak pernah melihat batang hidungnya. Di mana Adit? Mengapa ia menghilang begitu saja? Apa ada yang salah dengan kata-kataku waktu itu? Ah, sudahlah. Mungkin ia sibuk. Atau mungkin ia sedang bosan denganku dan ingin mencari teman yang lebih mengasyikkan. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya.
            “Pak Ujang, seminggu lagi aku ulang tahun, loh. Mama nyiapin sesuatu, nggak?” tanyaku penuh harap.
            “Nggak ada tuh, Neng. Lempeng-lempeng aja. Nggak ada yang repot-repot gitu di rumah. Mungkin nanti. ‘Kan masih seminggu lagi, Neng. Eneng sabar aja,” Pak Ujang berusaha menenangkanku. Semoga saja yang dikatakan Pak Ujang benar. Aku mengharapkan sesuatu yang spesial dihari ulang tahunku yang ke-17. Something special and someone special.
            Adit. Apa yang akan ia lakukan dia hari ulang tahunku? Mengapa ia tidak kunjung muncul disaat-saat seperti ini? Aku butuh Adit. Aku rindu Adit. Kamu ke mana, Dit? Aku takut kamu tidak akan pernah muncul di kehidupanku lagi. Aku mau kamu dihari ulang tahunku. Apa yang kupikirkan? Mengapa aku sebegitu mengharapkan Adit? Seakan-akan aku terpuruk, dan benar-benar terpuruk saat ini.
            “Udah sampe, Neng,” Pak Ujang membangunkanku dari lamunan sialan ini.
            Hari sudah semakin malam. Makan malam telah usai dan semua orang telah sibuk dengan urusan masing-masing. Aku hanya termenung di kamarku. Sambil sesekali memainkan gadget baruku.
            Tok...tok...tok... Seseorang di luar sana mengetuk kaca jendela kamarku. Spontan saja aku bangkit dan membuka jendela. Tak ada siapapun. Lagi-lagi bulu romaku berdiri. Aku merinding. Orang atau apapun yang mengetuk jendelaku tadi, hanya meninggalkan sebuah surat yang digantungkan di pegangan luar jendela kamarku.
            Surat? Aku langsung menutup jendela dan meloncat ke atas tempat tidur. Aku membuka surat itu. Jantungku berdegup kencang tak sabar menunggu apa isi surat itu. Perlahan-lahan kubuka perekat surat itu. Surat itu sangat harum. Baunya seperti parfum pria. Tapi parfum itu tak kukenal. Sepertinya bukan dari Adit. Aku mulai membaca surat itu.
            Hai, Merry!
            Aku adalah penggemar rahasiamu. Aku sudah lama mengamatimu. Kamu cantik dan aku menyukaimu. Namun selama ini aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mendekatimu. Walau hanya sekedar untuk menyapa atau mengobrol. Merry, mungkin perasaan suka yang sudah kupendam sejak setahun yang lalu perlahan-lahan telah berubah menjadi cinta. Aku benar-benar tidak tahan lagi ingin mengungkapkan semua ini. Tapi aku masih memiliki perasaan takut. Aku takut kamu menolakku karena kamu telah berpacaran dengan Adit. Aku berharap semua itu hanya pikiran burukku saja.
            Merry, aku ingin bertemu kamu. Besok sepulang sekolah di taman dekat parkiran. Aku akan memberikan pilihan. Jika kamu memang telah menjadi kekasih Adit atau siapapun, kamu tidak perlu datang karena aku tidak mau merusak hubungan orang. Tetapi jika kamu memilih untuk datang, aku anggap kamu bukan milik siapapun saat ini. Aku akan menunggu selama satu jam. Aku harap kamu datang. See you.
Secret Admirer
***
            “Hellooooo…. Ada orang nggak sih?!” aku merasa seperti ditipu. Aku sudah berteriak-teriak dan tetap saja tidak ada satu orang pun yang muncul di taman ini. Hanya aku. Sudahlah, aku muak dengan semua ini. Orang iseng macam apa yang berani menipuku seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk segera pergi dari taman itu. Namun, saat aku berbalik tiba-tiba ada seorang cowok yang sudah berdiri sejak tadi. Ia benar-benar mengagetkanku.
            “Hai, Mer. Sorry gue ngagetin. Niatnya sih mau bikin surprise,” ungkap cowok itu dengan santainya. Dia adalah Revan. Teman sekelas Adit. Aku tidak menyangka ternyata secret admirer-ku adalah Revan. Dia tidak pernah mendekatiku. Apalagi mengobrol. Kukira dia tidak mengenalku.
            “Eh.. Lo,Van. Lo kenal gue? Lo secret admirer gue? Lo yang ngirim surat itu?” spontan saja aku langsung menghamburkan pertanyaan pada Revan.
            “Iya, Mer. Gue udah ngamatin lo dari kita masih MOS dulu. Gue tau lo dan alamat rumah lo dari..... Adit,” jawab Revan.
            “Oke. So, sekarang lo mau ngapain?” tanyaku dengan mata penuh selidik.
            “Nggak ada, sih. Gue cuma pengen beraniin diri untuk ketemu dan ngomong sama lo. Itu doang. Adit, loh, yang maksa gue,” jawabnya sambil cengar-cengir.
            “Adiiiitt,” bisikku pelan.
            “Hah, apa, Mer?”
            “Oh, nggak apa-apa. Ehm.. lo dateng ya, di acara ulang tahun gue 5 hari lagi. Jam 7 malem di rumah gue. Kalo ketemu Adit, sampein ya. Gue kangen banget sama dia. Ya udah gue pulang dulu, ya” aku segera berlalu meninggalkan Revan.
***
            Hari ulang tahunku! Ya Tuhan umurku sudah 17 tahun. Sweet seventeen. Aku tak sabar menantikan perayaan ulang tahunku 1 jam lagi. Pasti meriah. Mama dan Papa benar-benar membuat pesta ini menjadi sangat indah. Aku berharap semua orang senang. Aku juga berharap semua teman-temanku datang, termasuk Adit. Adit yang selama ini menghilang entah ke mana. Kehadirannya saja sudah bisa membuatku bahagia. Aku tak mengharapkan hadiah. Aku hanya berharap kehadirannya. Ya Tuhan, kabulkan permohonanku.
            “Hai, Mer. Happy birthday, ya. Nih buat lo. Bunga dan sekotak hadiah. Buka waktu acara tiup lilin, ya,” aku hanya tersenyum. Revan membuatku penasaran. Sepertinya ia ingin menjadi orang spesial untukku di hari ulang tahunku ini.
            “Oke. Sekarang waktunya kita tiup lilin dan potong kue, ya. Ayo semuanya nyanyi lagu happy birthday untuk Merry Anistia, “ ucap Mama memulai acara tiup lilin sambil menyalakan lilin. Semua tamu yang hadir langsung bernyanyi lagu happy birthday untukku. Setelah tiup lilin dan potong kue selesai. Giliran aku memberanikan diri untuk bicara.
            “ Tadi ada seseorang yang nyuruh gue untuk buka kado ini pas acara tiup lilin. Karena gue penasaran, so, gue bakal buka kado ini sekarang,” terangku kemudian tersenyum. Aku melihat Revan hanya tersenyum melihatku perlahan-lahan membuka kado itu. Ternyata isi kado itu adalah sebuah liontin dan surat.
            “Gue baca, ya. Merry, happy birthday, ya. Gue seneng banget lo udah megang kado dari gue. Gue pengen banget ketemu lo, Merry. Tapi gue rasa hari-hari kemarin itu bukan waktu yang tepat. Gue nyari hari spesial, Mer. Gue cari hari spesial buat nyatain perasaan gue yang sebenarnya sama lo. Hari ini. Gue mau bilang kalo sebenernya gue...” belum selesai aku membaca, tiba-tiba ada seseorang yang keluar dari balik panggung dan meneruskan kalimat terakhir surat itu.
            “Gue sayang sama lo, Mer. Gue cinta banget sama, Lo. Gue mau jadi pemecah segala masalah yang lo pikirin selama ini. Maafin gue karena sebulan ini gue ngilang. Gue nyiapin surprise ini buat lo. Buka, deh liontinnya,” jelasnya. Dia Adit. Ya Tuhan, Adit. Dia mencintaiku, dan sebenarnya aku pun mencintainya. Aku tak kuasa menahan air mata bahagia ini. Aku benar-benar senang bisa melihat Adit lagi. Apalagi di saat-saat seperti ini.
            “Dit, gue sebenernya juga cinta sama lo. Gue kangen banget sama lo,” aku menggenggam tangan Adit erat-erat. Kemudian mengambil liontin kecil yang masih ada di dalam kotak kado. Ada kata Adit ♥ Merry dan foto kami berdua. Aku benar-benar bahagia. Aku langsung memeluk Adit erat-erat.
            “Gue sayang banget sama lo, Dit,” kataku sambil menahan isak tangis bahagiaku.
            “Iya, gue juga. Sini, gue pakein liontinnya,” Adit pun memakaikan liontin itu ke leherku dan semua tamu bertepuk tangan. Termasuk Mama, Papa, dan Abangku. Semua orang terlihat ikut bahagia. Wah, rasanya aku seperti melayang-layang. Aku sampai lompat-lompat kecil saking bahagianya.
Acara pun akhirnya selesai. Satu per satu tamu mulai pulang. Aku dan Adit duduk berdua di teras rumahku. Tiba-tiba saja Revan datang menghampiri kami sambil menggandeng Jeje. Mereka berdua cengar-cengir melihat kami berdua. Adit pun begitu. Mereka membuatku bingung.
            “Mer, sebenernya mereka ini udah ngebantuin gue, eh, aku untuk bikin kejutan buat kamu. Revan ini cuma pura-pura jadi secret admirer kamu biar kamu bingung milih tetep nungguin aku apa nanggepin dia. Revan itu pacarnya Jeje, tau.  Sebenernya... semua orang tau rencana ini. Termasuk Mama, Papa, dan Abang kamu. Pak Ujang juga. Jadi, gak akan ada yang keceplosan ngasih tau keberadaan aku kalo sewaktu-waktu mereka ketemu aku. Aku juga pengen tau kamu nyariin aku apa nggak,” jelas Adit panjang lebar sambil merangkulku. Aku hanya tersenyum malu dan memberi pukulan kecil di bahunya.
            “Iya, Mer. Maafin gue ya selama ini gue diem aja dan nggak ngasih tau lo. Hehe,” timpal Jeje sambil mengacungkan jarinya yang berbentuk huruf V.
            “Iya, Mer. Gue bukan secret admirer lo. Gue secret admirernya Jeje. Tapi itu sebelum kita jadian. Sekarang kan gue udah jadi cowoknya dia,” kami bertiga pun tertawa bersama sambil bercanda ria menikmati malam indah ini. I love you all and i love you more, Adit.
-Selesai-