Sunday, 15 September 2013

Cerpen 1 : Sebuah Penantian

Sebuah Penantian
Oleh : Nanda Oktavia

 “Pagi, Ma! Pagi, Pa! Pagi, Bang!” sapaku bersemangat. Hari ini hari pertamaku menjadi siswi kelas 11 di SMA Pelita Bangsa. Masa-masa kelas 10 telah kulewati dengan sempurna. Hasil raporku sesuai target. Oke, saatnya membuat target baru, di level baru, di kelas baru, tapi tetap sekolah lama.
            “Semangat banget, lo, Dek? Kelas baru gebetan baru, nih?” celetuk Abangku dengan santainya. Tampangnya yang menyebalkan selalu membuatku ingin melemparnya ke kutub utara dan berharap ia tidak akan pernah kembali. *ups
            “Bisa diem nggak, sih? Ngerusak mood aja. Sotoy, lo !” jawabku sinis.
            Gebetan baru. Kata-kata yang mengingatkanku pada masalah yang tidak pernah bisa kulupakan. Ah! Mengapa lagi-lagi masalah ini menggelayuti pikiranku ? Dasar Abang sialan. Mood-ku benar-benar hancur karenanya. Segera aku mengambil roti selaiku dan langsung pergi menuju mobil Honda Jazz biru yang sejak tadi telah terparkir di depan rumah bersama Pak Ujang, supirku.
            Di perjalanan, pikiranku tak tenang. Masalah itu tetap saja menghantui perasaanku. Sejak dulu, aku telah berusaha melupakan masalah itu. Namun semua itu sia-sia saja.
            “Arrrgggh!” sontak aku berteriak keras-keras di dalam mobil.
            “Masya Allah! Kesambet, Neng?” celetuk Pak Ujang saking kagetnya.
            “Sorry, Pak. Khilaf,” jawabku sambil tersenyum kecut.
***
            KRIIIINGG !!! Bel istirahat berbunyi. Baiklah, mungkin bersenang-senang bersama teman-teman bisa membuatku melupakan masalah aneh itu. Semoga.
            “Bengong aja, Mer. Mikirin gue, ya?” celetuk Adit mengagetkanku. Sahabatku ini memang PD-nya tingkat dewa. Selain itu, tepukannya di bahuku selalu terasa menyakitkan. Rasanya nyeri..
            “Rese banget, lo, Dit! Hobi lo bikin orang hampir mati ternyata masih awet, ya,” omelku pada Adit lengkap dengan gaya nenek-nenek yang hampir keserempet sepeda motor.
           “Sorry. Becanda doang, kok. Oh,iya, mau gue traktir, nggak? Gue iba sama muka lo yang nggak semangat itu. Persis nenek-nenek,” ujar Adit dengan wajahnya yang innocent.
            “Ngeledekin mulu, lo. Boleh, deh. Mie ayam plus jus jeruk. Jangan lupa nggak pake bawang goreng dan jusnya jangan terlalu kecut. Cepet pesen sana! Laper, nih,” perintahku dengan semena-mena tanpa mempedulikan wajahnya yang berubah menjadi cemberut saat mendengar ocehanku.
***
            Suasana sekolah sudah mulai sepi. Murid-murid SMA Pelita Bangsa sudah pulang sejak 2 jam yang lalu. Hanya ada beberapa PH OSIS yang berjalan-jalan disekitar kantor guru. Hujan begitu deras. Sehingga aku harus menunggu hujan reda agar bisa mencari angkot untuk pulang. Hari ini Pak Ujang tidak bisa menjemputku. Ia harus mengantarkan tamu Papa ke bandara.
            Sepi. Lagi-lagi masalah itu menghantui pikiranku. Ada apa denganku? Mengapa aku terlalu berharap ada seseorang yang bisa memecahkan masalahku? Seseorang yang akan mencintaiku dengan tulus dan menghapuskan segala kesedihan di hatiku. Tak terasa setetes air mata telah membasahi pipiku. Aku tak kuasa menahan segala emosi. Aku langsung menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya. Ada sedikit kelegaan di hatiku. Perlahan-lahan kubuka tanganku. Aku takut ada seseorang yang melihatku menangis.
            “Frustasi, Mer?” tanya Adit tiba-tiba. Kapan dia datang? Kehadiran cowok ini benar-benar membuatku merinding.
            “Makhluk halus yang satu ini bisanya cuma ngagetin orang, ya?” sindirku sembarangan.
            “Sembarangan aja, lo. Gue ini makhluk ganteng, macho, imut-imut, manis, dan punya banyak penggemar,” ocehnya dengan gaya kocak seperti biasanya. Mungkin ia berusaha menghiburku. Aku tahu itu. Adit memang tidak banyak basa-basi  jika ingin berbuat baik pada orang lain. Baginya, perbuatan lebih penting daripada omong kosong dan basa-basi.
            “Hm…,” aku menghela nafas panjang dan mulai menatap Adit dalam-dalam.
            “Dit, lo kan sahabat gue. Lo pasti paham tentang gue, kan? Gu…gue mau cerita. Tapi rahasia,” jelasku ragu-ragu.
            “Cerita aja,” jawabnya dengan santai dan langsung memalingkan pandangannya dariku.
            “Dit, gue jelek?” tukasku spontan.
            “Cantik, kok,” lagi-lagi ia menjawab dengan santai.
            “Dit, seriusan,” aku menepuk bahunya sambil bersungut-sungut.
            “Gue serius, Merry. Lo cantik. Sayangnya, lo nggak terbuka sama orang lain. Lo cuma berharap orang yang nyapa lo duluan. Gue tau masalah lo. Lo pingin punya cowok, kan? Udahlah, Mer. Hal begituan nggak usah terlalu dipikirin. Suatu saat Tuhan pasti bakal kasih cowok terbaik buat lo. Percaya, deh sama gue. Masih banyak hal yang lebih penting buat lo pikirin,” jawab Adit panjang lebar. Disaat-saat seperti ini Adit terlihat sangat bijaksana. Ia terlihat sebagai sahabat yang membanggakan.
            “Tapi rasanya aneh, Dit. Gue ngerasa nggak pernah ada orang yang merhatiin gue. Cowok jelek aja menghindar, apalagi cowok ganteng!” aku menekankan kalimat terakhirku.
            “ Lebay banget, sih. Perasaan lo aja kali. Lo cuma harus lebih banyak senyum sama orang. Pasang muka ramah. Cukup gitu doang, kok,” Adit berusaha meyakinkanku dengan menatapku dalam-dalam.
            “Hmmmm… Oke, gue coba. Oh iya, Dit. Gue harus pulang. Hujan udah reda, nih,” aku langsung bangkit dan melangkah pergi. Namun sebelum aku pergi, Adit langsung meraih tanganku.
            “Bareng gue aja,” tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menarikku menuju motor ninjanya yang super keren.
***
            Semester 1 telah berlalu. Hari-hari terasa begitu cepat. Aku harus mengawali hari-hariku di semester 2 dengan lebih baik lagi. Oh iya, sebulan lagi ulang tahunku yang ke-17. Wow! Sweet Seventeen ! Kira-kira seperti apa, ya, ulang tahunku kali ini? Entahlah. Itu urusan nanti. Semoga saja ada kejutan.
            “Woi!” tiba-tiba saja Adit datang dan langsung duduk di sebelahku.
            “Gimana? Udah ada yang mulai deket sama lo?” tanya Adit memulai pembicaraan.
            “Belum, sih. Mereka cuma nyapa doang, and nothing happen,” gumamku dengan nada melemas.
            “Udahlah, ‘kan ada gue. Hehehe...,” Adit nyengar-nyengir tak karuan. Sorot matanya benar-benar jahil.
            “Lo pantesnya jadi jongos gue kali, ya,” tukasku sembarangan.
            Tiba-tiba saja Adit langsung berlari pergi meninggalkanku. Ia tidak berkata apapun padaku. Sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya lagi.
***
            Sudah hampir sebulan aku tidak bertemu dengan Adit. Padahal kelas kami jaraknya cukup dekat. Di tempat parkir pun aku tidak pernah melihat batang hidungnya. Di mana Adit? Mengapa ia menghilang begitu saja? Apa ada yang salah dengan kata-kataku waktu itu? Ah, sudahlah. Mungkin ia sibuk. Atau mungkin ia sedang bosan denganku dan ingin mencari teman yang lebih mengasyikkan. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya.
            “Pak Ujang, seminggu lagi aku ulang tahun, loh. Mama nyiapin sesuatu, nggak?” tanyaku penuh harap.
            “Nggak ada tuh, Neng. Lempeng-lempeng aja. Nggak ada yang repot-repot gitu di rumah. Mungkin nanti. ‘Kan masih seminggu lagi, Neng. Eneng sabar aja,” Pak Ujang berusaha menenangkanku. Semoga saja yang dikatakan Pak Ujang benar. Aku mengharapkan sesuatu yang spesial dihari ulang tahunku yang ke-17. Something special and someone special.
            Adit. Apa yang akan ia lakukan dia hari ulang tahunku? Mengapa ia tidak kunjung muncul disaat-saat seperti ini? Aku butuh Adit. Aku rindu Adit. Kamu ke mana, Dit? Aku takut kamu tidak akan pernah muncul di kehidupanku lagi. Aku mau kamu dihari ulang tahunku. Apa yang kupikirkan? Mengapa aku sebegitu mengharapkan Adit? Seakan-akan aku terpuruk, dan benar-benar terpuruk saat ini.
            “Udah sampe, Neng,” Pak Ujang membangunkanku dari lamunan sialan ini.
            Hari sudah semakin malam. Makan malam telah usai dan semua orang telah sibuk dengan urusan masing-masing. Aku hanya termenung di kamarku. Sambil sesekali memainkan gadget baruku.
            Tok...tok...tok... Seseorang di luar sana mengetuk kaca jendela kamarku. Spontan saja aku bangkit dan membuka jendela. Tak ada siapapun. Lagi-lagi bulu romaku berdiri. Aku merinding. Orang atau apapun yang mengetuk jendelaku tadi, hanya meninggalkan sebuah surat yang digantungkan di pegangan luar jendela kamarku.
            Surat? Aku langsung menutup jendela dan meloncat ke atas tempat tidur. Aku membuka surat itu. Jantungku berdegup kencang tak sabar menunggu apa isi surat itu. Perlahan-lahan kubuka perekat surat itu. Surat itu sangat harum. Baunya seperti parfum pria. Tapi parfum itu tak kukenal. Sepertinya bukan dari Adit. Aku mulai membaca surat itu.
            Hai, Merry!
            Aku adalah penggemar rahasiamu. Aku sudah lama mengamatimu. Kamu cantik dan aku menyukaimu. Namun selama ini aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mendekatimu. Walau hanya sekedar untuk menyapa atau mengobrol. Merry, mungkin perasaan suka yang sudah kupendam sejak setahun yang lalu perlahan-lahan telah berubah menjadi cinta. Aku benar-benar tidak tahan lagi ingin mengungkapkan semua ini. Tapi aku masih memiliki perasaan takut. Aku takut kamu menolakku karena kamu telah berpacaran dengan Adit. Aku berharap semua itu hanya pikiran burukku saja.
            Merry, aku ingin bertemu kamu. Besok sepulang sekolah di taman dekat parkiran. Aku akan memberikan pilihan. Jika kamu memang telah menjadi kekasih Adit atau siapapun, kamu tidak perlu datang karena aku tidak mau merusak hubungan orang. Tetapi jika kamu memilih untuk datang, aku anggap kamu bukan milik siapapun saat ini. Aku akan menunggu selama satu jam. Aku harap kamu datang. See you.
Secret Admirer
***
            “Hellooooo…. Ada orang nggak sih?!” aku merasa seperti ditipu. Aku sudah berteriak-teriak dan tetap saja tidak ada satu orang pun yang muncul di taman ini. Hanya aku. Sudahlah, aku muak dengan semua ini. Orang iseng macam apa yang berani menipuku seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk segera pergi dari taman itu. Namun, saat aku berbalik tiba-tiba ada seorang cowok yang sudah berdiri sejak tadi. Ia benar-benar mengagetkanku.
            “Hai, Mer. Sorry gue ngagetin. Niatnya sih mau bikin surprise,” ungkap cowok itu dengan santainya. Dia adalah Revan. Teman sekelas Adit. Aku tidak menyangka ternyata secret admirer-ku adalah Revan. Dia tidak pernah mendekatiku. Apalagi mengobrol. Kukira dia tidak mengenalku.
            “Eh.. Lo,Van. Lo kenal gue? Lo secret admirer gue? Lo yang ngirim surat itu?” spontan saja aku langsung menghamburkan pertanyaan pada Revan.
            “Iya, Mer. Gue udah ngamatin lo dari kita masih MOS dulu. Gue tau lo dan alamat rumah lo dari..... Adit,” jawab Revan.
            “Oke. So, sekarang lo mau ngapain?” tanyaku dengan mata penuh selidik.
            “Nggak ada, sih. Gue cuma pengen beraniin diri untuk ketemu dan ngomong sama lo. Itu doang. Adit, loh, yang maksa gue,” jawabnya sambil cengar-cengir.
            “Adiiiitt,” bisikku pelan.
            “Hah, apa, Mer?”
            “Oh, nggak apa-apa. Ehm.. lo dateng ya, di acara ulang tahun gue 5 hari lagi. Jam 7 malem di rumah gue. Kalo ketemu Adit, sampein ya. Gue kangen banget sama dia. Ya udah gue pulang dulu, ya” aku segera berlalu meninggalkan Revan.
***
            Hari ulang tahunku! Ya Tuhan umurku sudah 17 tahun. Sweet seventeen. Aku tak sabar menantikan perayaan ulang tahunku 1 jam lagi. Pasti meriah. Mama dan Papa benar-benar membuat pesta ini menjadi sangat indah. Aku berharap semua orang senang. Aku juga berharap semua teman-temanku datang, termasuk Adit. Adit yang selama ini menghilang entah ke mana. Kehadirannya saja sudah bisa membuatku bahagia. Aku tak mengharapkan hadiah. Aku hanya berharap kehadirannya. Ya Tuhan, kabulkan permohonanku.
            “Hai, Mer. Happy birthday, ya. Nih buat lo. Bunga dan sekotak hadiah. Buka waktu acara tiup lilin, ya,” aku hanya tersenyum. Revan membuatku penasaran. Sepertinya ia ingin menjadi orang spesial untukku di hari ulang tahunku ini.
            “Oke. Sekarang waktunya kita tiup lilin dan potong kue, ya. Ayo semuanya nyanyi lagu happy birthday untuk Merry Anistia, “ ucap Mama memulai acara tiup lilin sambil menyalakan lilin. Semua tamu yang hadir langsung bernyanyi lagu happy birthday untukku. Setelah tiup lilin dan potong kue selesai. Giliran aku memberanikan diri untuk bicara.
            “ Tadi ada seseorang yang nyuruh gue untuk buka kado ini pas acara tiup lilin. Karena gue penasaran, so, gue bakal buka kado ini sekarang,” terangku kemudian tersenyum. Aku melihat Revan hanya tersenyum melihatku perlahan-lahan membuka kado itu. Ternyata isi kado itu adalah sebuah liontin dan surat.
            “Gue baca, ya. Merry, happy birthday, ya. Gue seneng banget lo udah megang kado dari gue. Gue pengen banget ketemu lo, Merry. Tapi gue rasa hari-hari kemarin itu bukan waktu yang tepat. Gue nyari hari spesial, Mer. Gue cari hari spesial buat nyatain perasaan gue yang sebenarnya sama lo. Hari ini. Gue mau bilang kalo sebenernya gue...” belum selesai aku membaca, tiba-tiba ada seseorang yang keluar dari balik panggung dan meneruskan kalimat terakhir surat itu.
            “Gue sayang sama lo, Mer. Gue cinta banget sama, Lo. Gue mau jadi pemecah segala masalah yang lo pikirin selama ini. Maafin gue karena sebulan ini gue ngilang. Gue nyiapin surprise ini buat lo. Buka, deh liontinnya,” jelasnya. Dia Adit. Ya Tuhan, Adit. Dia mencintaiku, dan sebenarnya aku pun mencintainya. Aku tak kuasa menahan air mata bahagia ini. Aku benar-benar senang bisa melihat Adit lagi. Apalagi di saat-saat seperti ini.
            “Dit, gue sebenernya juga cinta sama lo. Gue kangen banget sama lo,” aku menggenggam tangan Adit erat-erat. Kemudian mengambil liontin kecil yang masih ada di dalam kotak kado. Ada kata Adit ♥ Merry dan foto kami berdua. Aku benar-benar bahagia. Aku langsung memeluk Adit erat-erat.
            “Gue sayang banget sama lo, Dit,” kataku sambil menahan isak tangis bahagiaku.
            “Iya, gue juga. Sini, gue pakein liontinnya,” Adit pun memakaikan liontin itu ke leherku dan semua tamu bertepuk tangan. Termasuk Mama, Papa, dan Abangku. Semua orang terlihat ikut bahagia. Wah, rasanya aku seperti melayang-layang. Aku sampai lompat-lompat kecil saking bahagianya.
Acara pun akhirnya selesai. Satu per satu tamu mulai pulang. Aku dan Adit duduk berdua di teras rumahku. Tiba-tiba saja Revan datang menghampiri kami sambil menggandeng Jeje. Mereka berdua cengar-cengir melihat kami berdua. Adit pun begitu. Mereka membuatku bingung.
            “Mer, sebenernya mereka ini udah ngebantuin gue, eh, aku untuk bikin kejutan buat kamu. Revan ini cuma pura-pura jadi secret admirer kamu biar kamu bingung milih tetep nungguin aku apa nanggepin dia. Revan itu pacarnya Jeje, tau.  Sebenernya... semua orang tau rencana ini. Termasuk Mama, Papa, dan Abang kamu. Pak Ujang juga. Jadi, gak akan ada yang keceplosan ngasih tau keberadaan aku kalo sewaktu-waktu mereka ketemu aku. Aku juga pengen tau kamu nyariin aku apa nggak,” jelas Adit panjang lebar sambil merangkulku. Aku hanya tersenyum malu dan memberi pukulan kecil di bahunya.
            “Iya, Mer. Maafin gue ya selama ini gue diem aja dan nggak ngasih tau lo. Hehe,” timpal Jeje sambil mengacungkan jarinya yang berbentuk huruf V.
            “Iya, Mer. Gue bukan secret admirer lo. Gue secret admirernya Jeje. Tapi itu sebelum kita jadian. Sekarang kan gue udah jadi cowoknya dia,” kami bertiga pun tertawa bersama sambil bercanda ria menikmati malam indah ini. I love you all and i love you more, Adit.
-Selesai-

No comments:

Post a Comment